BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hadis
Sejarah
perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengamalan umat
dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadis
sejak masa timbulnya atau lahirnya di zaman Nabi SAW.[1]
Para
ulama muhadtisin membagi sejarah hadis
dalam beberapa periode.
M. Hasbi
Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Rasulullah
SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Periode pertama: Perkembangan Hadis
pada Masa Rasulullah SAW
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (Masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang
berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat islam dan membentuk
masyarakat islam.[2]
Disaat Rasulullah SAW masih hidup,
menurut kebanyakan ahli hadis, tidak ada satupun buku yang ditulis mengenai hadis,
hal ini disebabkan beliau sendiri yang melarang mencatat dan menulis semua hadis.
Keterangan tersebut ditemui dalam suatu hadis
yang artinya “Jangan kamu tuliskan
apa-apa yang kamu terima daripadaku (hadis) dan barang siapa menuliskan
daripadaku selain Al-Qur’a, hendaklah dihapuskannya; dan beritakanlah apa yang
kamu terima daripadaku, tidaklah menjadi persoalan. Barang siapa sengaja
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka ia hendaklah menempati tempat
duduknya di neraka”
Larangan menulis dan mencatat dilatarbelakangi
oleh beberapa pertimbangan yaitu agar hadis tidak bercampur baur dengan
Al-Qur’an, baik karena lupa atau karena tak sengaja.[3]
Disisi lain terdapat riwayat bahwa hadis
Rasulullah SAW telah dicatat dan ditulis secara diam-diam. Beberapa
sahabat yang mempunyai catatan tersebut yaitu Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir
bin Abdullah Al-Anshari dan Humman bin Munabbih.[4]
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadis
pada Masa Khulafa’Ar-Rasydin ( 11 H – 40 H )
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW. Wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan
hadis yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[5]
Karena adanya kesibukan para sahabat
untuk menulis dan menyampaikan Al-Qur’an sehingga perkembangan hadis sedikit
terlambat. Pada masa Usman bin Affan memangku jabatan khalifah merupakan
permulaan perkembangan kajian tentang hadis. Mereka mulai serius dalam mencari,
meneliti dan mengumpulkan hadis.
Cara sahabat meriwayatkan hadis ada dua
yaitu dengan lafal asli (lafdzi) dan
dengan maknanya saja (maknawi). Lafal
atau redaksi yang sering digunakan sahabat dalam meriwayatkan hadis antara lain
dengan kata sami’tu, akbarana, haddasani Rasulullah
SAW.[6]
Kata Asy Syaiksh Para sahabat tidak
membukukan hadis dalam suatu mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan
Al-Qur’an karena hadis itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang
dihapalnya dari yang tidak dihapalnya. Karena itu ahli hadis menyerahkan ururan
penukilan hadis kepada hapalan-hapalan mereka saja.[7]
3. Periode Ketiga: Perkembangan pada
Masa Sahabat kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa perkembangan dan meluasnya
perkembangan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri
Syam, Irak, Mesir, Samarkand,bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol.
Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut,
terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.[8]
Pada periode ini, mulailah diberikan
perhatian yang lebih dalam meriwayatkan hadis, mereka mulai mendirikan
madrasah-madrasah untuk menjadi pusat-pusat hadis diantaranya di Madinah,
Mekah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman.
Berikut beberapa orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yaitu:
§ Abu
Hurairah, menurut pendapat al- Kirmany beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5364 hadis
§ Abdullah
bin Umar, beliau meriwayatkan sejumlah 2630 hadis
§ Anas
Ibn Malik, beliau meriwayatkan sejumlah 2276 hadis
§ ‘Aisyah
ra, beliau meriwayatkan sejumlah 2210 hadis
§ Abdullah
Ibn Abbas, beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadis
§ Jabir
bin Abdullah, beliau meriwayatkan sejumlah 1540
§ Abu
Sa’id Al-Khudry, beliau meriwayatkan sejumlah 1170.[9]Hasby
73
4. Periode Keempat: Perkembangan Hadis
pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa
Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukaan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan
secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.
Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis,
baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[10]hal
38
Disaat kendali khalifah dipegang oleh
Umar bin Abdul Aziz hadis mulai dibukukan, beliau sadar bahwa perawi hadis kian
lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan
mungkin hadis itu akan lenyap.
Untuk mewujudkan maksud mulia tersebut,
pada tahun 100 Hijriah Khalifah meminta Gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad
ibn Amer ibn Hazmin supaya membukukan hadis Rasulullah SAW. Beliau juga meminta
Gubernur wilayah lainnya supaya ada ulama-ulama yang membukukan hadis, diantara
ulama yang membukukan hadis atas kemauan khalifah ialah: Abu Bakr Muhammad ibn
Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az-Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam
urusan fiqih dan hadis. Kemudian berlomba-lombalah para ulama dalam membukukan hadis.[11]
Adapun kitab-kitab yang termasyhur pada
abad kedua Hijriah yaitu Al-Muwaththa’
karya Imam Malik, Musnad Imam Syafi’I karya
Imam Syafi’I dan Mukhtaliful Hadis karya
Imam Syafi’i.[12]
5.
Periode Kelima Masa Men-tashih-kan Hadis
dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Pentashihan
adalah memisahkan yang shahih dari yang dhaif.[13]
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab
Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’
–Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghapal hadis, mengumpul dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadis.[14]
Imam Bukhari, beliaulah yang mula-mula
meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis, beliau pergi ke Baghdad,
Bashrah, Kufah, Mesir dan Madinah. Ringkasnya selama 16 Tahun beliau mencari hadis
untuk menyiapkan kitab shahihnya.[15]
6.
Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode
keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H. Setelah abad ketiga berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat.
Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari Mutaqaddimin dan Ulama
Mutaakhirin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri
kepada para penghapalnya.[16]
Mereka hanya berusaha menghafal dan memeriksa sanad didalam kitab-kitab yang
telah ada.
Para
ulama hadis memiliki derajat yang berbeda. Ada diantara mereka yang hapal
100.000 hadis diberi gelar “hafidh”
yang hapal 300.000 hadis “hujjah”,sedangkan
yang lebih dari jumlah itu digelari “hakim”.
Adapun
Al-Bukhari, Muslim, Sufyan Ats Tsaury dan Ishaq Ibn Rahawaih dikalangan mutaqaddimin dan mutaakhkhirin digelari “Amirul
Mukminin fil Hadis”.[17]
Para
ulama Mutaqaddimin dan Ulama Mutaakhirin bersama-sama meneliti hadis
Rasulullah SAW. Ulama mutaakhkhirin banyak
mempedomani kitab-kitab hadis mutaqaddimin.
Kemudian, mereka juga menyusun beberapa kitab hadis yaitu Mu’jamul kabir, Mu’jamul Ausath, Mu’jamus
Shagir, Sunan Daruqutni, Shahih Abu Auwamah dan Shaih Ibn Khuzaimah.[18]
Selanjutnya,
para ahli hadis pada abad kelima Hijriah menitik beratkan usaha untuk
memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serakan dan memudahkan
jalan-jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan hadiss-hadis hukum dalam satu
kitab serta mensyarahkannya.[19]
Adapun
kitab yang lahir pada abad kelima salah satunya adalah As Sunan I –Kubra, merupakan kitab yang paling terkenal pada abad
kelima. Kitab ini disusun oleh Al Imam Al Baihaqy, sebuah kitab hokum yang luas
dan baik serta mendapat perhatian yang besar dari para ulama.[20]
7.
Periode Ketujuh (656-Sekarang)
Periode
ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami wa
At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan,
pen-tahrij-an dan pembahasan.[21]
Mulai dari masa Bagdad dihancurkan oleh Hulagu Khan berpindahlah kegiatan hadis
ke Mesir dan India. Dalam masa ini banyak kepala-kepala pemerintahan yang
berkecimpung dalam dunia hadis seperti Al Barquq.[22]
Pada
periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id,
yaitu usaha mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya
kedalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab
Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry.[23]
Tokoh-tokoh
yang terkenal pada masa ini antara lain: Adzahaby, Ibn Sayyidinnas, Ibn Daqiq
Al-‘Ied, Muglathai, Al-Asqalani, Ad-Dimyaty, Al-‘Ainy, As-Suyuthi, Az-Zarkasy
dan Ibnu Katsir.[24]
B.
Sejarah
Penulisan dan Pembukuan Hadis
1.
Penulisan
Hadis
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an telah
dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Qur’an pun
sudah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur’an.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak
diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki
catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah
mereka dengar dari Rasulullah SAW.[25]
Diantara sahabat Rasulullah SAW yang mempunyai
catatan-catatan hadis Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang
menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.[26]
Catatan yang dibuat oleh Abdullah bin Amar bin Ash, merupakan suatu catatan
yang paling benar mengenai apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW catatan
tersebut berisi sejumlah 1000 hadis dan dihapal serta dipelihara oleh
keluarganya sepeninggal penulisnya.
Cucu dari Abdullah bin Amr bin Ash yaitu Amr Syuaib
meriwayatkan hadis tersebut sebanyak 500 hadis. Menurut para muhaddisin naskah tersebut dapat
ditemukan secara kutipan dalam kitab-kitab Musnad,
seperti Musnad Ahmad, Sunan Abi Daud,
Sunan Nasa’I, Sunan Turmuzi dan Sunan
Ibn Majah.[27]
2.
Penghapalan
Hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari Rasulullah
SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan
bukan dengan menulis hadis dalam buku.[28]
Sahabat-sahabat Rasullullah SAW hanya sedikit yang dapat menulis. Mereka
mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Rasulullah SAW, lalu
tergambarlah lafal atau maknanya, lalu mereka menghapal hadis tersebut dan
menyampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.[29]
3.
Pembukuan
Hadis
Pada masa Rasulullah hidup maupun dimasa Khulafaur Rasyidin hadis belum
dibukukan secara resmi hal demikian disebabkan pada masa Rasulullah SAW kaum
muslimin dapat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang persoalan yang
mereka hadapi. Sedangkan pada masa sahabat, mereka amalkan saja apa yang mereka
ketahui atau yang mereka dengar dari Rasullah SAW. Di lain pihak para sahabat
khawatir andaikata hadis itu dibukukan niscaya akan bercampur dengan Al-Qur’an,
selain itu waktu untuk meneliti hadis dan mengumpulkannya hampir tidak ada.[30]
Setelah
masyarakat Jazirah Arab menerima islam secara utuh dan para sahabat mulai
terpencar di berbagai daerah dan diantara mereka banyak yang meninggal dunia,
maka tersalah betapa pentingnya hadis itu dibukukan. Prakarsa yang menggerakkan
untuk meneliti membukukan hadis yaitu dibawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Beliau adalah seorang khalifah dari Bani Umayah yang adil dan wara’ sehingga
beliau dipandang sebagai Khulafaur
Rasyidin yang kelima.[31]
Dalam
situasi penelitian dan pembukuan hadis, muncullah tokoh yang cemerlang dibidang
hadis yaitu Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dengan karyanya Jami’us Shahih, beliau mempersiapkannya
lebih kurang 16 tahun lamanya, beliau sangat berhati-hati dalam menuliskan hadis
yang beliau terima. Jalan yang beliau tempuh diikuti pula oleh ulama-ulama
lainnya diantaranya Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats,
Imam At-Turmuzy, Imam An-Nasa’I dan Imam Ibnu Majah.[32]
C.
Timbulnya
Pemalsuan dan Upaya Penyelamatan Hadis
1. Timbulnya
Pemalsuan Hadis
Disekitar tahun 40 Hijriah merupakan kritik sentral
terjadi dan lahirnya hadis-hadis palsu dalam masyarakat islam. Umumnya pada
saat itu terjadi penambahan dan perubahan hadis yang dipergunakan untuk
kepentingan politik dan pribadi.[33]
Secara garis besar, sebab-sebab terjadinya pemalsua hadis
antara lain:
· Perselisihan
politik dalam soal Khalifah
Partai-partai
polotik pada masa itu, ada yang banyak membuat hadis palsu dan ada pula yang
sedikit. Yang paling banyak membuat hadis untuk kepentingan golongan adalah
partai Syiah dan Rifidhah.[34]
Muhammad bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa salah seorang tokoh Rifadhah
berkata, “Sekiranya kami sedang berkumpul dan menemukan sesuatu yang kami
pandang baik segera kami jadikan hadis.[35]
Contoh
hadis yang dibuat golongan Syi’ah yaitu:
إذﺍ
ﺭﺃﻴﺗﻢ ﻤﻌﺎ ﻮﻴﺔ ﻓﺎ ﻗﺗﻟﻭﻩ
Artinya: “Apabila kamu lihat Mu’awiyah atas mimbarku, bunuhlah akan dia”.[36]
· Propaganda
Kaum Zindik
Diantara
ciri Kaum Zindik adalah mereka tidak
beriman kepada kekuasaan Allah SWT dan mereka tidak pula beriman kepada hari akhirat.
Mereka adalah orang-orang yang mendongkol hatinya melihat tersiarnya agama
islam dan kejayaan pemerintahan islam. Tokoh Zindik yang terkenal dalam membuat
hadis palsu yaitu Abdul Karim bin Abil ‘Auja, Bayan bin Sam’an Al-Madhy dan
Muhammad bin Said Al-Machul.[37]
Contoh
hadis yang dibuat kaum Zindik yaitu:
ﺍﻠﻨﻇﺮ
ﺍﻟﯽ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻠﺠﻣﻴﻞ ﻋﺑﺎﺩﺓ
Artinya: “Melihat (memandang) kepada muka yang indah
adalah ibadah”[38]
· Ashabiyah
Ashabiyah yakni fanatik kebangsaan, kekabilahan,
kebahasaan dan keimaman.[39]
Konflik fanatisme merupakan konflik yang nyata , konflik ini melibatkan system
fanatisme yang mati-matian membela golongannya, mereka bertaklid kepada
imam-imam mereka, tanpa mengemukakan alas an yang objektif dan rasional. Dengan
sikap inilah sehingga muncul beberapa hadis palsu.[40]
Contoh
hadis dari golongan yang fanatik kepada Abu Hanifah yaitu:
ﯿﻜﻮﻦ ﺮﺠﻞ ﻓﻲ ﺃﻤﺗﻲ ﻳﻗﺎﻞ
ﻟﻪ ﺃﺑﻮﺤﻨﻴﻔﻪ ﺍﻠﻧﻌﻤﺎﻥ ﺒﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻫﻭ ﺴﺮﺍﺝ ﺃﻣﺗﻲ
Artinya:”Aka nada seorang lelaki dari ummatku yang
dinamai Abu Hanifah An Nu’man ibn Tsabits dialah pelita umatku”[41]
· Keinginan
menarik minat para pendengar
Dalam
upaya menyampaikan dakwah guna memikat masyarakat yang tingkat pendidikannya
rendah, maka para pembuat hadis palsu menarik masyarakat-masyarakat awam dengan
dongeng-dongeng yang menarik yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.[42]
Contoh
hadis ini yaitu:
ﻤﻦ
ﻗﺎﻞﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﷲ ﺨﻟﻖ ﺍﷲ ﻣﻦ ﻜﻞ ﻜﻟﻤﺔ ﻄﺎﺌﺮ ﺍﻣﻨﻘﺎﺮﻩ ﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﻭﺭﯿﺸﻪ ﻣﻥ ﻣﺮﺠﺎ ﻦ
Artinya: “Barang siapa membaca la ilaha illallah,
niscaya Allah menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari
emas dan bulunya dari marjan”.[43]
2. Upaya
Penyelamatan Hadis
pemberantasan
terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan
nama-nama dari oknum-oknum atau golongan-golongan yang memalsukan hadis berikut
hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat
oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara
khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
¨
Kitab
oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
¨
Kitab
oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
¨
Kitab
oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)[44]
Selain usaha diatas, ada beberapa usaha untuk menyelamatkan
hadis, antara lain:
1. Menetapkan kaidah-kaidah untuk
mengklasifikasikan hadis
2.
Mengadakan
dan mencitakan kaidah tentang hadits shahih,
hasan dan dha’if
3.
Membuat
ketentuan tentang ciri-ciri hadis palsu[45]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi
sejarah pembukuan hadits sangatlah panjang. Mulai dari perkembangan hadis pada
masa Rasulullah SAW, perkembangan hadis pada masa Khulafa’ar-rasydin,
perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin, pada masa men-tashih-kan
hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya, pada abad IV hingga tahun 656 H. dan
pada tahun 656-sekarang.
Pada
masa Umar bin Abdul Aziz hadis mulai dibukukan, beliau sadar bahwa perawi hadis
kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera
dibukukan mungkin hadis itu akan lenyap.
Persoalan
hadis palsu yang merupakan salah satu hal yang menyulitkan dalam pembukuan
hadis, dimana para ulama harus berusaha keras membasminya sehingga dapat
terkumpul hadis-hadis yang dapat diterima.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 33
[2] Ibid. hal. 34
[3] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 58
[4] Ibid, hal. 59.
[5] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia.
2011. hal. 35.
[6] Opcit. hal. 66.
[7] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 68.
[8]Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia.
2011. hal. 36
[9] Opcit, hal. 73.
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 38.
[11] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 80.
[12] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 74.
[13] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 91.
[14] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 42.
[15] , hal. 90.
[16] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 45.
[17] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 115.
[18] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 77.
[19] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 118.
[20] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 123.
[21] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 47.
[22] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 126.
[23] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 48.
[24]
Agus Solahudin dan Agus
Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 47.
[25] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 58.
[26] Agus Solahudin dan Agus Suyadi.
Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 59.
[27] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 63.
[28]
Agus Solahudin dan Agus
Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 60.
[29]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 53.
[30] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 69.
[31] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 70
[32]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 80.
[33]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 82
[34]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.246
[35]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 87
[36]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.247
[37]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 87
[38]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.250
[39]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.250
[40]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 88
[41]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.251
[42]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 88
[43]
Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.253.
[45]
Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum
Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 91