Sabtu, 28 Februari 2015

sejarah hadits



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Hadis

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya atau lahirnya di zaman Nabi SAW.[1]
Para ulama muhadtisin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode.
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Rasulullah SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Periode pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (Masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam.[2]
Disaat Rasulullah SAW masih hidup, menurut kebanyakan ahli hadis, tidak ada satupun buku yang ditulis mengenai hadis, hal ini disebabkan beliau sendiri yang melarang mencatat dan menulis semua hadis.
Keterangan tersebut ditemui dalam suatu hadis yang artinya “Jangan kamu tuliskan apa-apa yang kamu terima daripadaku (hadis) dan barang siapa menuliskan daripadaku selain Al-Qur’a, hendaklah dihapuskannya; dan beritakanlah apa yang kamu terima daripadaku, tidaklah menjadi persoalan. Barang siapa sengaja berdusta atas namaku dengan sengaja, maka ia hendaklah menempati tempat duduknya di neraka”
Larangan menulis dan mencatat dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan yaitu agar hadis tidak bercampur baur dengan Al-Qur’an, baik karena lupa atau karena tak sengaja.[3] Disisi lain terdapat riwayat bahwa hadis  Rasulullah SAW telah dicatat dan ditulis secara diam-diam. Beberapa sahabat yang mempunyai catatan tersebut yaitu Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari dan Humman bin Munabbih.[4]
2. Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’Ar-Rasydin ( 11 H – 40 H )
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW. Wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan hadis yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[5]
Karena adanya kesibukan para sahabat untuk menulis dan menyampaikan Al-Qur’an sehingga perkembangan hadis sedikit terlambat. Pada masa Usman bin Affan memangku jabatan khalifah merupakan permulaan perkembangan kajian tentang hadis. Mereka mulai serius dalam mencari, meneliti dan mengumpulkan hadis.
Cara sahabat meriwayatkan hadis ada dua yaitu dengan lafal asli (lafdzi) dan dengan maknanya saja (maknawi). Lafal atau redaksi yang sering digunakan sahabat dalam meriwayatkan hadis antara lain dengan kata sami’tu, akbarana, haddasani Rasulullah SAW.[6]
Kata Asy Syaiksh Para sahabat tidak membukukan hadis dalam suatu mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an karena hadis itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dihapalnya dari yang tidak dihapalnya. Karena itu ahli hadis menyerahkan ururan penukilan hadis kepada hapalan-hapalan mereka saja.[7]
3. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa perkembangan dan meluasnya perkembangan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand,bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.[8]
Pada periode ini, mulailah diberikan perhatian yang lebih dalam meriwayatkan hadis, mereka mulai mendirikan madrasah-madrasah untuk menjadi pusat-pusat hadis diantaranya di Madinah, Mekah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan Yaman.
Berikut beberapa orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yaitu:
§ Abu Hurairah, menurut pendapat al- Kirmany beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5364 hadis
§ Abdullah bin Umar, beliau meriwayatkan sejumlah 2630 hadis
§ Anas Ibn Malik, beliau meriwayatkan sejumlah 2276 hadis
§ ‘Aisyah ra, beliau meriwayatkan sejumlah 2210 hadis
§ Abdullah Ibn Abbas, beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadis
§ Jabir bin Abdullah, beliau meriwayatkan sejumlah 1540
§ Abu Sa’id Al-Khudry, beliau meriwayatkan sejumlah 1170.[9]Hasby 73  
4. Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukaan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[10]hal 38
Disaat kendali khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz hadis mulai dibukukan, beliau sadar bahwa perawi hadis kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan mungkin hadis itu akan lenyap.
Untuk mewujudkan maksud mulia tersebut, pada tahun 100 Hijriah Khalifah meminta Gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin supaya membukukan hadis Rasulullah SAW. Beliau juga meminta Gubernur wilayah lainnya supaya ada ulama-ulama yang membukukan hadis, diantara ulama yang membukukan hadis atas kemauan khalifah ialah: Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az-Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fiqih dan hadis. Kemudian berlomba-lombalah para ulama dalam membukukan hadis.[11]
Adapun kitab-kitab yang termasyhur pada abad kedua Hijriah yaitu Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Musnad Imam Syafi’I karya Imam Syafi’I dan Mukhtaliful Hadis karya Imam Syafi’i.[12]
5. Periode Kelima Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Pentashihan adalah memisahkan yang shahih dari yang dhaif.[13] Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ –Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghapal hadis, mengumpul dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.[14]
   Imam Bukhari, beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis, beliau pergi ke Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir dan Madinah. Ringkasnya selama 16 Tahun beliau mencari hadis untuk menyiapkan kitab shahihnya.[15]

6. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H. Setelah abad ketiga berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari Mutaqaddimin dan Ulama Mutaakhirin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.[16] Mereka hanya berusaha menghafal dan memeriksa sanad didalam kitab-kitab yang telah ada.
Para ulama hadis memiliki derajat yang berbeda. Ada diantara mereka yang hapal 100.000 hadis diberi gelar “hafidh” yang hapal 300.000 hadis “hujjah”,sedangkan yang lebih dari jumlah itu digelari “hakim”.
Adapun Al-Bukhari, Muslim, Sufyan Ats Tsaury dan Ishaq Ibn Rahawaih dikalangan mutaqaddimin dan mutaakhkhirin digelari “Amirul Mukminin fil Hadis”.[17]
Para ulama Mutaqaddimin dan Ulama Mutaakhirin bersama-sama meneliti hadis Rasulullah SAW. Ulama mutaakhkhirin banyak mempedomani kitab-kitab hadis mutaqaddimin. Kemudian, mereka juga menyusun beberapa kitab hadis yaitu Mu’jamul kabir, Mu’jamul Ausath, Mu’jamus Shagir, Sunan Daruqutni, Shahih Abu Auwamah dan Shaih Ibn Khuzaimah.[18]
Selanjutnya, para ahli hadis pada abad kelima Hijriah menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serakan dan memudahkan jalan-jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan hadiss-hadis hukum dalam satu kitab serta mensyarahkannya.[19]
Adapun kitab yang lahir pada abad kelima salah satunya adalah As Sunan I –Kubra, merupakan kitab yang paling terkenal pada abad kelima. Kitab ini disusun oleh Al Imam Al Baihaqy, sebuah kitab hokum yang luas dan baik serta mendapat perhatian yang besar dari para ulama.[20]

7. Periode Ketujuh (656-Sekarang)
Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an dan pembahasan.[21] Mulai dari masa Bagdad dihancurkan oleh Hulagu Khan berpindahlah kegiatan hadis ke Mesir dan India. Dalam masa ini banyak kepala-kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam dunia hadis seperti Al Barquq.[22]
Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry.[23]
Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain: Adzahaby, Ibn Sayyidinnas, Ibn Daqiq Al-‘Ied, Muglathai, Al-Asqalani, Ad-Dimyaty, Al-‘Ainy, As-Suyuthi, Az-Zarkasy dan Ibnu Katsir.[24]
B.     Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadis

1.      Penulisan Hadis
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur’an telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Qur’an pun sudah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.[25]
Diantara sahabat Rasulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.[26] Catatan yang dibuat oleh Abdullah bin Amar bin Ash, merupakan suatu catatan yang paling benar mengenai apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW catatan tersebut berisi sejumlah 1000 hadis dan dihapal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya.
Cucu dari Abdullah bin Amr bin Ash yaitu Amr Syuaib meriwayatkan hadis tersebut sebanyak 500 hadis. Menurut para muhaddisin naskah tersebut dapat ditemukan secara kutipan dalam kitab-kitab Musnad, seperti Musnad Ahmad, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa’I, Sunan Turmuzi dan Sunan Ibn Majah.[27]

2.      Penghapalan Hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari Rasulullah SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan bukan dengan menulis hadis dalam buku.[28] Sahabat-sahabat Rasullullah SAW hanya sedikit yang dapat menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Rasulullah SAW, lalu tergambarlah lafal atau maknanya, lalu mereka menghapal hadis tersebut dan menyampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.[29]

3.      Pembukuan Hadis
Pada masa Rasulullah hidup maupun dimasa Khulafaur Rasyidin hadis belum dibukukan secara resmi hal demikian disebabkan pada masa Rasulullah SAW kaum muslimin dapat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang persoalan yang mereka hadapi. Sedangkan pada masa sahabat, mereka amalkan saja apa yang mereka ketahui atau yang mereka dengar dari Rasullah SAW. Di lain pihak para sahabat khawatir andaikata hadis itu dibukukan niscaya akan bercampur dengan Al-Qur’an, selain itu waktu untuk meneliti hadis dan mengumpulkannya hampir tidak ada.[30]
Setelah masyarakat Jazirah Arab menerima islam secara utuh dan para sahabat mulai terpencar di berbagai daerah dan diantara mereka banyak yang meninggal dunia, maka tersalah betapa pentingnya hadis itu dibukukan. Prakarsa yang menggerakkan untuk meneliti membukukan hadis yaitu dibawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah seorang khalifah dari Bani Umayah yang adil dan wara’ sehingga beliau dipandang sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima.[31]
Dalam situasi penelitian dan pembukuan hadis, muncullah tokoh yang cemerlang dibidang hadis yaitu Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dengan karyanya Jami’us Shahih, beliau mempersiapkannya lebih kurang 16 tahun lamanya, beliau sangat berhati-hati dalam menuliskan hadis yang beliau terima. Jalan yang beliau tempuh diikuti pula oleh ulama-ulama lainnya diantaranya Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats, Imam At-Turmuzy, Imam An-Nasa’I dan Imam Ibnu Majah.[32]

C.    Timbulnya Pemalsuan dan Upaya Penyelamatan Hadis

1.      Timbulnya Pemalsuan Hadis
Disekitar tahun 40 Hijriah merupakan kritik sentral terjadi dan lahirnya hadis-hadis palsu dalam masyarakat islam. Umumnya pada saat itu terjadi penambahan dan perubahan hadis yang dipergunakan untuk kepentingan politik dan pribadi.[33]
Secara garis besar, sebab-sebab terjadinya pemalsua hadis antara lain:
·      Perselisihan politik dalam soal Khalifah
Partai-partai polotik pada masa itu, ada yang banyak membuat hadis palsu dan ada pula yang sedikit. Yang paling banyak membuat hadis untuk kepentingan golongan adalah partai Syiah dan Rifidhah.[34] Muhammad bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa salah seorang tokoh Rifadhah berkata, “Sekiranya kami sedang berkumpul dan menemukan sesuatu yang kami pandang baik segera kami jadikan hadis.[35]
Contoh hadis yang dibuat golongan Syi’ah yaitu:
إذﺍ ﺭﺃﻴﺗﻢ ﻤﻌﺎ ﻮﻴﺔ ﻓﺎ ﻗﺗﻟﻭﻩ                                     
Artinya: “Apabila kamu lihat Mu’awiyah atas mimbarku, bunuhlah akan dia”.[36]
·      Propaganda Kaum Zindik
Diantara ciri Kaum Zindik adalah mereka tidak beriman kepada kekuasaan Allah SWT dan mereka tidak pula beriman kepada hari akhirat. Mereka adalah orang-orang yang mendongkol hatinya melihat tersiarnya agama islam dan kejayaan pemerintahan islam. Tokoh Zindik yang terkenal dalam membuat hadis palsu yaitu Abdul Karim bin Abil ‘Auja, Bayan bin Sam’an Al-Madhy dan Muhammad bin Said Al-Machul.[37]
Contoh hadis yang dibuat kaum Zindik yaitu:
ﺍﻠﻨﻇﺮ ﺍﻟﯽ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻠﺠﻣﻴﻞ ﻋﺑﺎﺩﺓ                                 
Artinya: “Melihat (memandang) kepada muka yang indah adalah ibadah”[38]
·      Ashabiyah
Ashabiyah  yakni fanatik kebangsaan, kekabilahan, kebahasaan dan keimaman.[39] Konflik fanatisme merupakan konflik yang nyata , konflik ini melibatkan system fanatisme yang mati-matian membela golongannya, mereka bertaklid kepada imam-imam mereka, tanpa mengemukakan alas an yang objektif dan rasional. Dengan sikap inilah sehingga muncul beberapa hadis palsu.[40]
Contoh hadis dari golongan yang fanatik kepada Abu Hanifah yaitu:
         ﯿﻜﻮﻦ ﺮﺠﻞ ﻓﻲ ﺃﻤﺗﻲ ﻳﻗﺎﻞ ﻟﻪ ﺃﺑﻮﺤﻨﻴﻔﻪ ﺍﻠﻧﻌﻤﺎﻥ ﺒﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻫﻭ ﺴﺮﺍﺝ ﺃﻣﺗﻲ                           
Artinya:”Aka nada seorang lelaki dari ummatku yang dinamai Abu Hanifah An Nu’man ibn Tsabits dialah pelita umatku”[41]
·      Keinginan menarik minat para pendengar
Dalam upaya menyampaikan dakwah guna memikat masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, maka para pembuat hadis palsu menarik masyarakat-masyarakat awam dengan dongeng-dongeng yang menarik yang disandarkan kepada Rasulullah SAW.[42]
Contoh hadis ini yaitu:
ﻤﻦ ﻗﺎﻞﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﷲ ﺨﻟﻖ ﺍﷲ ﻣﻦ ﻜﻞ ﻜﻟﻤﺔ ﻄﺎﺌﺮ ﺍﻣﻨﻘﺎﺮﻩ ﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﻭﺭﯿﺸﻪ ﻣﻥ ﻣﺮﺠﺎ ﻦ
Artinya: “Barang siapa membaca la ilaha illallah, niscaya Allah menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”.[43]

2.      Upaya Penyelamatan Hadis
pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum atau golongan-golongan yang memalsukan hadis berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
¨         Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
¨         Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
¨         Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)[44]
Selain usaha diatas, ada beberapa usaha untuk menyelamatkan hadis, antara lain:
1.      Menetapkan kaidah-kaidah untuk mengklasifikasikan hadis
2.      Mengadakan dan mencitakan kaidah tentang hadits shahih, hasan dan dha’if
3.      Membuat ketentuan tentang ciri-ciri hadis palsu[45]




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi sejarah pembukuan hadits sangatlah panjang. Mulai dari perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW, perkembangan hadis pada masa Khulafa’ar-rasydin, perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin, pada  masa men-tashih-kan hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya, pada abad IV hingga tahun 656 H. dan pada tahun 656-sekarang.  
Pada masa Umar bin Abdul Aziz hadis mulai dibukukan, beliau sadar bahwa perawi hadis kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan mungkin hadis itu akan lenyap.
Persoalan hadis palsu yang merupakan salah satu hal yang menyulitkan dalam pembukuan hadis, dimana para ulama harus berusaha keras membasminya sehingga dapat terkumpul hadis-hadis yang dapat diterima.










DAFTAR PUSTAKA



[1] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 33
[2] Ibid. hal. 34
[3] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 58
[4] Ibid, hal. 59.
[5] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 35.
[6] Opcit. hal. 66.
[7] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 68.
[8]Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 36
[9] Opcit, hal. 73.
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 38.
[11] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 80.
[12] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 74.
[13] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 91.
[14] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 42.
[15] , hal. 90.
[16] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 45.
[17] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 115.
[18] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 77.
[19] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 118.
[20] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 123.
[21] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 47.
[22] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 126.
[23] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 48.
[24] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 47.
[25] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 58.
[26] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 59.
[27] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 63.
[28] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Setia. 2011. hal. 60.
[29] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 53.
[30] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 69.
[31] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 70
[32] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 80.
[33] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 82
[34] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.246
[35] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 87
[36] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.247
[37] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 87
[38] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.250
[39] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.250
[40] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 88
[41] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.251
[42] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 88
[43] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974, hal.253.
[45] Zufran Rahman. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai Sumber Hukum Isl Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1995. hal. 91